8 Matching Annotations
  1. Mar 2019
    1. Buat apa sertifikasi penulis dan editor? Pastilah pertanyaan ini yang muncul di benak banyak pelaku perbukuan yang sudah nyaman dengan dunianya tanpa diusik-usik soal kompetensi. Namun, untuk meningkatkan marwah profesi ini jelaslah para penulis dan editor memerlukan pengakuan terhadap kompetensinya. Dalam sertifikasi profesi, seseorang yang sudah sangat senior di bidang penulisan tidak harus mengikuti serangkai uji kompetensi. Ia mungkin hanya perlu menunjukkan portofolio karyanya untuk diverifikasi, lalu diwawancarai.

      Apa hubungannya dengan marwah ya?

      Menulis buku non-fiksi kan hak semua orang.

      Kalau pada akhirnya ada buku yang diterbitkan dan tidak, maka itu adalah penilaian dari penerbit.

      Kalau pada akhirnya ada buku yang terbit dan banyak yang beli dan ada buku lain yang tidak laku, maka itu adalah penilaian dari pembaca.

      As simple as that ...

    2. Sayangnya di Indonesia, ilmu penerbitan yang menaungi ilmu penulisan dan ilmu penyuntingan baru diajarkan setingkat D-3 yaitu di Politeknik Negeri Media Kreatif.

      Persis! Saya setuju. Tapi ...

      Sertifikat vs sertifikasi, dua istilah yang berhubungan tapi dengan implikasi yang tidak sederhana.

    3. Karena itu, demi meningkatkan mutu dan standar penulisan maka diperlukan sertifikasi kompetensi bagi pelaku perbukuan.

      Saya masih tidak melihat hubungan antara meningkatkan kualitas dengan sertifikasi.

      Bahwa penulis perlu dilatih dan latihan, saya setuju. Tapi tidak untuk sertifikasi.

      Sertifikat memang bisa diberikan untuk seseorang yang lulus pelatihan. Tapi kalau sudah menggunakan kata "sertifikasi", maka akan muncul industri lain yang akan "merusak". Industri sertifikasi. Saat itu muncul akan terjadi "asal punya sertifikat". Ingat fenomena indeksasi di dunia akademik.

    4. Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3) untuk Penulis Buku Nonfiksi dan Editor

      Persis! Saya setuju. Tapi ...

      Baik. Sertifikasi ini khusus untuk Penulis Buku Nonfiksi dan Editor. Mari kesampingkan dulu bagian Editor.

      Menurut laman Ruang Guru, Buku Nonfiksi terdiri dari: buku biografi, buku literatur, buku motivasi, buku pendamping. Banyak yang tidak mau percaya kalau kawan sendiri yang bilang :). Coba anda cari secara daring tentang pembagian jenis buku non-fiksi. Ada banyak klasifikasi lain yang mirip atau sama dengan klasifikasi ini.

      Mari kita konsentrasi ke jenis "Buku Literatur" dan profesi kita sebagai dosen atau peneliti. Jenis "Buku Literatur". Bukankah ini adalah salah satu jenis buku yang dapat atau perlu dibuat oleh seorang dosen/peneliti.

      Lantas apakah seorang dosen/peneliti dianggap perlu mengikuti sertifikasi ini sebelum pada akhirnya dibolehkan menyusun buku?

      Ok. Mungkin anda akan bilang sertifikasi ini tidak wajib untuk dosen atau peneliti. Tapi dengan IKAPI dan Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia sudah mendukung sertifikasi ini, mestinya tipis batas antar wajib dan tidak wajib bagi para dosen/peneliti untuk mendapatkan sertifikat sebagai penulis.

    5. Penulis dan editor harus disertifikasi? Repot amat? Memang begitu seharusnya jika kita ingin bersama-sama menata profesi di bidang literasi ini menjadi terstandardisasi dan jelas dalam berbagai aspek. Artinya, ketika seseorang mengaku sebagai penulis buku nonfiksi ataupun editor, ia benar-benar teridentifikasi memiliki kompetensi seperti yang dipersyaratkan.

      Persis! Saya setuju. Tapi ...

      Ok, kompetensi adalah kata kuncinya. Lantas apakah perlu sampai dibuat sertifikasinya?

    6. Begitu juga dengan editor. Banyak sekali yang mengaku dirinya seorang editor dan mampu mengedit naskah. Namun, ketika diminta membedakan proses editing mekanis dan editing substantif, ia menjadi bingung sendiri. Belum lagi ketika ditanya tentang anatomi atau bagian-bagian tulisan yang harus diedit dan disusun sesuai dengan strukturnya, ia pun makin tidak mengerti.

      Persis! Saya setuju.

      Ok. Masalah istilah penyuntingan mekanis dan substantif, apakah sedemikian perlunyakah untuk diketahui? Katakan ada sebuah kalimat.

      "Budi sedang membaca buku, sedangkan Wati kakaknya sedang membantu ibu membacakan buku bagi adiknya Iwan."

      Katakan ada seorang yang tidak tersertifikasi sebagai penyunting, maka nalurinya akan muncul beberapa pertanyaan:

      1. jadi masing-masing karakter sedang melakukan apa?
      2. apakah dugaan saya ini betul:

      3. Budi sedang membaca buku

      4. Iwan sedang belajar membaca buku
      5. Ibu dan Wati sedang membantu Iwan membaca buku
      6. Wati, Budi, dan Iwan adalah kakak-beradik.

      Kalau itu benar, maka mungkin kalimatnya akan lebih bagus menjadi begini:

      "Budi sedang membaca buku. Iwan, adiknya, sedang belajar membaca buku pula. Bersama Ibu, Wati (kakak Budi) membantu Iwan belajar membaca buku."

      atau agar lebih ilustratif

      "Wati, Budi, dan Iwan adalah tiga bersaudara. Mereka bertiga gemar sekali membaca buku. Wati dan Budi sudah lancar sekali membaca. Itu karena mereka berdua sudah SD. Wati kelas 3 dan Budi kelas 1. Tapi Iwan, yang masih berusia 5 tahun, belum bisa membaca. Ia masih perlu bantuan. Sore itu, Ibu dan Wati sedang membantu Iwan belajar membaca. Mereka membacakan buku cerita dinosaurus yang seru untuk Iwan. "

      Nah, apakah istilah menyunting mekanis dan substantif masih penting untuk diketahui.

      OK bisa jadi penting.

      Rasanya setiap orang akan bingung membaca kalimat awal. Tapi kemudian (memang tergantung pengalaman), setiap orang akan merekomendasikan penyuntingan dan kalimat yang berbeda-beda. Lantas apa masalahnya? Kan tinggal pembaca atau penyunting akhir yang menentukan.

      Tapi apakah cukup alasan untuk kemudian dibuat sertifikasi penyunting?

      Jadi kata kuncinya jadi berubah pengalaman bukan sertifikat.

    7. standardisasi dalam dunia penerbitan masih kurang mendapatkan perhatian sehingga industri penerbitan menjadi industri kreatif yang tidak memiliki SKKNI/SKKK untuk mengukur kompetensi para pelaku perbukuan—kalah dengan industri pers.

      Persis! Saya setuju.

      Dalam kalimat ini, penulis menyatakan bahwa industri buku adalah industri kreatif. Kalau kemudian dalam industri itu ada banyak sekali aturan kaku, apakah lantas tetap menjadi industri kreatif?

      Nah, kalau dalam sebuah industri kreatif ada banyak peraturan dan standar yang kaku, apakah industri itu akan tetap menjadi "industri kreatif"?

      Contoh ya. Dalam kaidah penulis ilmiah, dulu sekali ada panduan untuk selalu menggunakan kalimat pasif. Apakah ini kemudian dapat membuat mahasiswa menjadi kreatif saat membuat kalimat.

      Ini pertanyaan dari saya. Penulis yang belum bersertifikat.

    8. Asosiasi profesi pelaku perbukuan di Indonesia boleh dikatakan sangat minim dan yang eksis hanya satu asosiasi penerbit yaitu Ikapi. Adapun asosiasi penulis dan editor pernah didirikan, tetapi kemudian hilang ditelan masa.

      Persis! Saya setuju.

      Kalau yang dimaksud adalah "asosiasi" yang berbadan hukum, tentu saja sedikit. Saya setuju. Tapi kalau yang dimaksud adalah komunitas, tentu buanyak sekali. Saat orang jawa bilang "buanyak", maka maksudnya banyak sekali.

      Bukankah sikap yang hanya mengakui asosiasi berbadan hukum ini juga adalah salah satu hal yang membatasi lingkup berpikir kita? Apakah hanya pendapat orang-orang dari lembaga yang berbadan hukum saja yang layak untuk didengar?