- Jan 2019
-
theconversation.com theconversation.com
-
Sebaiknya, Kementerian Ristekdikti tidak hanya menjadikan kuantitas publikasi dan skor H-index Scopus sebagai tolak ukur keberhasilan program penelitian dan publikasi internasional. Kualitas artikel ilmiah yang diterbitkan oleh jurnal internasional bereputasi lebih bermakna. Untuk rekan sejawat dosen Indonesia, alangkah baiknya kita berlomba meningkatkan kualitas hasil penelitian dan publikasi ilmiah. Rentang waktu yang agak lama ketika proses revisi naskah ilmiah oleh para reviewer mari kita sikapi sebagai proses peningkatan kualitas saintifik kita.
Saya masih setuju sampai sini. Untuk paragraf kedua, di sinilah peran preprint (atau versi pra cetak). Silahkan kirim ke jurnal manapun, tapi jangan lupa anda juga punya hak untuk mempublikasikannya seawal mungkin, tanpa ada batasan peninjauan sejawat. Manfaatkan hak itu.
Aktivitas mengunggah preprint atau dokumen apapun ke media yang diindeks oleh mesin pencari (misal Google Scholar) akan menyebabkan seolah karya anda membengkak. Jangan khawatir. Kalau memang kegiatan anda banyak, ya wajar banyak dokumen yang dihasilkan. Mesin pencari atau pengindeks tugasnya menemukan dokumen itu saat kawan atau kolega anda mencari informasi. Itu saja tugas. Ia tidak bertugas memberikan skor atau nilai kepada dokumen anda. Jadi untuk apa memprotes seseorang yang terlalu banyak mengunggah dokumen daring. Lebih baik instrumen pengindeksnya saja yang dimatikan. Toh bukan itu tujuannya dibuat awalnya.
-