Sebenarnya model manapun yang kita pilih (OA atau nonOA), itu hanya masalah siapa yang membayar. Kalau non OA, yang membayar akses adalah pembaca. Kalau OA, yang membayar penulis. Walaupun ada lebih banyak jurnal OA yang tidak menarik biaya dari penulis, perlu diakui bahwa yang berprestise adalah jurnal OA yang dibayar, khususnya untuk kebutuhan naik pangkat.
Itu baru dari sisi siapa yang membayar biaya penerbitan.
Nah sekarang. Model manapun yang Anda pilih, pasti ada uang masuk ke penerbit. Sekarang, tergantung jenis penerbitnya. Ada yang nirlaba dan ada yang komersial. Kalau yang komersial sudah jelas ya. Sudah disebutkan oleh Pak Mikra secara jelas.
Sekarang untuk penerbit nirlaba, lembaga biasanya berupa asosiasi atau perguruan tinggi.
Ada asosiasi/perguruan tinggi yang secara mandiri mengelola jurnalnya. Jenis ini biasanya akan menarik biaya penerbitan yang rendah atau tidak sama sekali. Namun demikian "biaya rendah" nya jurnal asosiasi LN pasti ya lebih mahal dibanding jurnal asosiasi/perguruan tinggi DN.
Ada pula asosiasi/perguruan tinggi yang menyerahkan pengelolaan jurnalnya ke penerbit komersial. Konsekuensinya bisa ditebak biaya penerbitan makalahnya menjadi mahal.
Kemudian pandangan yang bilang bahwa jurnal LN reviewnya bagus, sepertinya perlu dikoreksi. Memang mungkin reviewnya bagus, karena diberikan oleh para reviewer yang bisa jadi lebih berpengalaman dari penulis. Tapi mari kita pikirkan lebih panjang. Para reviewer itu kan juga peneliti sehari-harinya. Lantas kenapa mereka memposisikan diri seorang perintah review hanya bisa diberikan oleh jurnal.
Kalau separuh peneliti di dunia setuju untuk mereview secara bebas tanpa harus via jurnal, maka ilmu pengetahuan akan makin cepat berkembang. Karena pada dasarnya mereka ini kan bukan pegawai jurnal. Kok mau dimintai waktu berpikir tanpa mendapatkan bayaran dengan fakta bahwa pihak jurnal menarik biaya yang mahal dari penulis atau pembaca. Sementara pada kesempatan lain, untuk melaksanakan tugas kampus seringkali ingin minta dibayar.